Melatih Anak Mandiri

Kali ini Ibu ingin flashback pada kejadian sebelum pandemi, tepatnya sekitar dua tahun yang lalu saat pertama kali dalam hidup, Ibu berhenti bekerja kantoran dan memutuskan untuk di rumah saja. 

Ibu, aku maunya ke sekolah dianter sama Ibu.

Lhoo... kemarin-kemarin kan sudah berangkat naik sepeda.

Tapi kan ujan bu, mau dong dianterin lagi.

Hari ini kan terang, Dek. Nih, udah Ibu bawain jas hujan juga ya.

Begitulah percakapanku dengan si Adek selepas enggak ngantor. Adek udah seneng banget karena sekarang sekolah udah ga harus dianter sama orang lain lagi.

Jadi dulu sebelum Ibu resign, Adek ke sekolah naik semacam 'ojek' gitulah. Ada tetangga yang sekalian anter anaknya ke sekolah dan mau dititipin untuk mengantar Adek juga. Kebetulan si ibu yang dititipin ini orangnya sayang banget sama Adek. Sering beliin ini itu meskipun kadang berujung diare. Hahahaa...

Iya, saking baiknya tuh, sampai Adek sering dibeliin jajan. Jenis jajanan yang sebenarnya larangan banget untuk dimakan Adek. Demi menghindari kejadian diare terulang lagi, Ibu pesan pada Adek untuk menerima saja jajanan tersebut tapi enggak usah dimakan. Bawa pulang aja ntar buang.

Ya emang sih jadinya mubazir. Maafkan Ibu ya bumi, Ibu lebih takut menyakiti hati si ibu baik hati tadi. Daripada hubungan pertetanggaan jadi enggak enak, akhirnya solusi itu yang Ibu pakai. Orang Jawa memang mungkin gitu ya, banyak nggak enaknya daripada bicara terus terang. Iya, selemah itu memang hati Ibu. Rapuh bagaikan parutan keju yang meleleh terkena panas. 😀

Nah, saat naik kelas 3 SD, Adek ingin berangkat sekolah sendiri naik sepeda. Jadi enggak dianterin lagi gitu oleh si ibu ojek tadi. Latihan mandiri gitu ya ceritanya. 

Namun di saat yang hampir bersamaan, di tahun itu Ibu berhenti bekerja. Melihat ibunya santai woles kayak di pantai, Adek jadi berubah niat, maunya dianterin saja oleh Ibu. Enak diantar jemput sama Ibu, gitu katanya. 

Duh, batal dong ya ini jadinya latihan mandiri untuk bisa berangkat dan pulang sekolah naik sepeda. Gimana ceritanya bisa gini coba?

Lah udah ngapah to Buuu... mbokya dianter, tega amat sih sama anak ndiri?

Gitu kalik ya pemikiran orang lain ketika akhirnya Ibu memutuskan Adek harus tetap belajar berangkat sendiri ke sekolah naik sepeda. Bukan tanpa pertimbangan sih, lha wong jarak rumah ke sekolah enggak sampai 5 menit naik sepeda.

Kalau maunya tampil sempurna, maunya sih anterin aja Adek ke sekolah. Biar enggak digosipin ama tetangga. Udah nggak kerja aja loh, males amat nganterin anak sekolah. 😄

Untungnya nih Ibu udah terlatih untuk tidak memperdulikan apa kata tetangga. Ada hal-hal lain yang mungkin terlewat untuk mereka pikirkan. Atau lebih tepatnya ada hal prinsip yang ingin Ibu tanamkan kepada anak-anak. Suatu prinsip yang mungkin bagi ibu atau orang tua lainnya berbeda-beda.

That strong mother doesn't tell her cub, Son, stay weak so the wolves can get you. She says, toughen up, this is reality we are living in.

(popular proverb by Lauryn Hill)

Mungkin di mata orang lain, Ibu ini kelihatan kejam dan tidak sayang pada anak-anaknya. Padahal mana ada kan ya seorang tidak sayang kepada buah hatinya. Hanya saja cara menyalurkan rasa cintanya berbeda-beda.

Ibu BocahRenyah hanya ingin Adek dan Kakak bisa melakukan banyak hal sendiri, mulai dari hal-hal yang paling mudah dan paling sederhana. Mulai dari mencuci sendiri piring makan mereka, membereskan tempat tidur, menata baju di lemari, hingga berangkat ke sekolah sendiri.

Itulah kenapa Ibu memilih menyekolahkan Adek dan Kakak di sekolah dasar yang dekat rumah saja. Paling tidak ketika mengajarkan kemandirian untuk berangkat sekolah sendiri jadinya enggak terlalu deg-degan. Hari pertama dan kedua masih diikuti lah dari belakang sembari naik motor, sesudah melihat bagaimana kesiapan anak naik sepeda sendiri ke sekolah, baru deh dilepas.

Tentu saja ini tidak berlaku ya bagi para ayah dan ibu yang menyekolahkan anak di sekolah yang jauh dari rumah. Ibu hanya ingin bercerita saja bagaimana harus terpaksa 'tega' memandirikan Adek dan Kakak sejak kecil. 

Hal ini Ibu lakukan karena sebelumnya Ibu kan harus bekerja di luar rumah, harus bisa memutuskan banyak hal terkait dengan nasib anak-anak. Gimana caranya semua urusan kelar walaupun secara fisik Ibu tak ada di rumah. Salah satunya ya urusan berangkat sekolah naik sepeda tadi. 

Adakah para ayah, ibu ataupun mba yang punya pengalaman melatih kemandirian anak begini? Boleh dong sharing pengalamannya di kolom komentar yaaa... Terima kasih.